Dua hari yang lalu Menteri Sakti Wahyu Trenggono (SWT) mengesahkan Permen Nomor 17 tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Jika merunut ke belakang, perjalanan Permen ini banyak lika likunya, menuai pro dan kontra. Tercatat telah tiga kali Permen ini di revisi pada tiga era menteri berbeda.
Lebih kurang dua tahun lalu, saya menulis kolom artikel tentang “lobster dan perspektif sustaibability”, artikel ini mengulas perbedaan persepsi dari dua menteri tentang aspek sustainability dalam pengelolaan lobster yakni pada saat era SP dan EP.
Pun halnya, ketika menteri EP berwacana membuka kembali kran ekapor benih bening lobster (bbl), melalui analisis saya terhadap kajian kajian yang telah dilakukan sebelumnya, saya telah berkirim policy paper via Komisi Pemangku Kepentingan Publik KP saat itu. Isinya berbagai pertimbangan untung rugi terhadap beberapa kemungkinan alternatif pengelolaan benih bening lobster. Saya memang lebih cenderung menyetujui jika ekspor bbl dihentikan dan lebih baik mendorong budidaya di dalam negeri. Tentu dengan berbagai catatan.
Sebagai yang cukup konsen dengan kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup, saya pribadi menyambut baik disah-kan nya Permen baru ini. Budidaya adalah jalan tengah untuk menyelesaikan gonjang ganjing urusan lobster. Sepintas saya melihat, secara substantif Permen ini sudah cukup menggambarkan “equality of dimension”. Saya juga melihat prinsip dasar sustainability telah cukup terakomodir. Kesimpulannya, ada niat baik untuk mewujudkan ini. Tentu pandangan saya akan bertolak belakang dengan berbagai pihak yang pro ekspor bbl, apalagi nilai perputaran uang begitu besar.
Dipihak yang kontra (menolak ekspor bbl), aturan menghentikan ekspor bbl justru akan memicu lebih banyak bbl yang diselundupkan, jadi ajang bola mainan para “smuggler”, toh dibelakang penyelundup ada kekuatan besar uang. Kedua, Indonesia dalam jangka pendek dinilai belum siap kembangkan budidaya, disebabkan berbagai kendala yang belum terpecahkan seperti pakan, penyakit dan SR yang rendah. Ini tentu patut jadi perhatian, dengan jalan membuktikan bahwa apa yang dilakukan bisa memberi jaminan dua masalah besar ini terselesaikan dengan baik, maksimal di era sisa kepemimpinannya.
PR Besar Mananti, Harus Ada Jurus Sakti
Saya memandang Permen ini secara kontekstual sudah cukup komprehensif mengakomidir kepentingan multidimensi, namun di sisi lain, harus secara konkrit dan konsisten bahwa ada jaminan paska pemberlakuan Permen ini, industri budidaya lobster nasional bisa tumbuh signifikan. Menurut saya ada 4 (empat) masalah utama yang harus segera ditindak lanjuti, meski butuh waktu.
Pertama, Pengawasan dan Penindakan. Pemerintah harus mampu mengkonsolidasikan seluruh daya upaya untuk memperketat pengawasan dipintu keluar masuk ekspor (termasuk jalur tikus) dan melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran ekspor bbl. Pengawasan dan penindakan tidak hanya bersifat instan dan parsial. Harus ada upaya preventif/pencegahan secara menyeluruh di setiap rantai tata niaga. Bila perlu bentuk tim Satgas Penindakan Mafia Ekspor Bbl. Ini uji nyali pertama, jika ingin budidaya dalam negeri berkembang.
Kedua, selesaikan permasalahan ketersediaan pakan, penyakit dan masalah SR yang masih rendah. Pakan dinilai masih menghadapi kendala terutama berkaitan dengan kualitas dan efisiensinya. Pakan juga sangat mempengaruhi performance lobster hasil budidaya. Konon lobster hasil budidaya asal Indonesia masih kalah bersaing dengan Vietnam di pasar China. Ini harus segera dicari jalan keluar. Alternatif pakan yang bisa disuplai sesuai kebutuhan. Riset terkait pakan buatan yang efektif harus mulai didorong dengan melibatkan lembaga riset dan perguruan tinggi.
Demikian halnya masalah penyakit, juga kemungkinan besar akan dihadapi seperti yang umum ditemukan pada spiny lobster yakni milky desease. Upaya penanggulangan juga harus sedini mungkin mampu diantisipasi dengan baik.
SR yang masih rendah juga dinilai masih menjadi momok penyebab utama usaha menjadi tidak feasible. Segmentasi usaha yang dirancang harus sepenuhnya menjamin usaha yang dilakukan masyarakat lebih efisien. Bottleneck-nya tentu tidak lain karena SR rendah terutama pendederan dari ukuran bbl hingga ukuran min 5 gr. Ini juga membutuhkan proses riset dan perekayasaan yang konsisten agar mampu meningkatkan SR yang optimum minimal 75%.
Jalan pintas satu satunya, jika SR masih di bawah 40%, maka proses pendederan bbl hingga ukuran 5 gr harus dihandle UPT terlebih dahulu. Sambil menunggu proses perekayasaan benar benar menghasilkan SR optimal.
Ketiga, pengembangan model bisnis. Dalam Permen disebut bahwa usaha dilakukan berdasarkan segmentasi, namun sebenarnya penting terlebih dahulu dipetakan rantai nilainya untuk melihat apakah tiap segmen benar benar feasible atau tidak. Satu hal yang penting lagi adalah bagaimana konsep bisnis yang akan dibangun, modelnya seperti apa? Tentu saya tidak bisa memastikan skema apa yang paling efektif. Apakah perlu kemitraan atau tidak?
Oleh karena itu, langkah awal yang harus segera dilakukan adalah melakukan kajian komprehensif untuk pengembangan model bisnis plan-nya. Kajian yang meliputi seluruh sub sistem yang ada beserta faktor faktor pengungkit dan aktor potensial yang bisa diberdayakan. Sebuah ekosistem bisnis tentu tidak terlepas juga dari aspek sosial kultural masyarakat. Oleh karena itu, peran partisipasi masyarakat dalam perencanaan mutlak diberi ruang luas.
Keempat, pembenahan tata niaga. Minimnya nilai tambah ekonomi disamping akibat kualitas produk juga disebabkan akibat inefisiensi rantai distribusi pasar. Oleh karena itu perlu ada pengaturan agar mata rantai distribusi pasar ini bisa efisien. Misalnya menghilangkan peran spekulan/tengkulak dan merancang kemitraan pasar langsung dengan eksportir tanpa banyak melalui peran middle man.
Kesimpulannya, mengalahkan vietnam dalam persaingan perdagangan lobster dunia, kata kuncinya seberapa jauh efisiensi bisa tercapai baik di hulu maupun pada aspek tata niaganya. Semoga sukses.
Artikel merupakan opini pribadi