Indonesia merupakan negara yang dijuluki sebagai megabiodiversity, menyebabkan negara kepulauan ini memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah, termasuk ikan hias. Ada lebih dari 600 jenis ikan hias (tawar dan laut) yang konon ada di Indonesia dan hanya beberapa spesies yang berhasil dibudidayakan di dalam negeri.
Berangkat dari gambaran potensi tersebut, tahun lalu Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berambisi untuk menjadi produsen sekaligus eksportir ikan hias nomor wahid di dunia. Tidak salah jika KKP menargetkan hal itu, jika berangkat dari daya saing sumber daya yang ada. Syaratnya tentu tidak hanya larut dalam bayang bayang potensi semata, namun mesti dioptimalkan menjadi sumber ekonomi.
Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono dalam ulasan opininya di detik.com beberapa waktu lalu mengisyaratkan pentingnya mendorong kepentingan ekonomi dan lingkungan secara seimbang. Saya sepakat, terlebih berkali kali saya sering sampaikan di beberapa artikel bahwa kesalahan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan adalah karena selama ini kita seringkali mengabaikan prinsip “equality of dimension” yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Menteri Trenggono mengistilahkan dalam ulasannya sebagai ” economic, nature and people.
Ekonomi Ikan Hias
Merujuk data yang dirillis oleh International Trade Center/ITC (2020), tahun 2019 RI hanya bertengger diposisi ke empat sebagai eksportir ikan hias dunia dengan supply share sebesar 7,69% dari total ekspor dunia yang mencapai 349,57 juta US dollar. Sementara di atasnya ada Spanyol (10,36%), Jepang (10,35%) dan Singapura (11,42%).
Tahun 2019, RI mencatat nilai ekonomi sebesar 30,27 juta US dollar, turun sebesar 6,06% dibanding tahun 2018 yang mencapai 32,23 juta US dollar. Meski kalah dengan Singapura, tapi selama kurun waktu 5 tahun (2015 – 2019) RI mencatat pertumbuhan ekspor ikan hias tertinggi yakni sebesar 12,02%. Sedangkan Singapura dan Spanyol justru mencatat pertumbuhan negatif masing-masing minus 6,58% dan minus 2,74%. Tingginya nilai ekspor Singapura disinyalir salah satunya disebabkan negera tersebut menjadi transit tujuan ekspor termasuk dari RI. Proses tata niaga ekspor yang tidak direct, namun mesti transit di Singapura, menyebabkan Singapura meraup nilai tambah ekonomi yang besar. Sementara RI kehilangan nilai tambah akibat in-efisiensi sistem logistik. Ini tentu menjadi PR besar yang mesti segera dituntaskan.
Melihat potensi yang besar, namun disisi lain supply share masih kecil tentu menjadi ironis ditengah ambisi menjadikan RI sebagai “the biggest exporter” ikan hias dunia. Saya kira ini ulasan kunci yang harus ditangkap lewat strategi yang adaptif dan terukur.
Daya Saing RI masih Rendah, sebuah PR besar
Sebelumnya saya sampaikan bahwa ulasan ini hanya berbasis pada data dan informasi pasar secara umum, sementara variabel lainnya belum menjadi fokus analisis. Berbasis pada data kinerja nilai ekspor tahun 2019 yang dirillis ITC (2020), saya mencoba melakukan analisis terhadap seberapa jauh daya saing komparatif ikan hias RI di perdagangan dunia. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode tahun 2018-2019 daya saing komparatif RI justru mengalami penurunan dengan ditandai indek RCA sebesar 0,94. Penurunan daya saing komparatif ini menyebabkan penurunan nilai ekspor sebesar 6,06% atau senilai lebih kurang 1,95 juta US dollar selama periode tersebut. Ini menunjukkan pangsa pasar ikan hias RI terhadap total ekspor produk perikanan lebih rendah dibanding pangsa pasar ikan hias dunia terhadap total ekspor produk perikanan dunia. Ini tentu menjadi PR bagaimana RI bisa terus mendorong pangsa pasar yang tersedia terutama pada negara tujuan ekspor yang memiliki trend pertumbuhan market demand positif.
Lalu seberapa besar RI harus genjot nilai ekspor untuk mengoptimalkan pangsa pasar yang tersedia?
Dengan melihat trade balance (neraca perdagangan ikan hias dunia), RI bisa memanfaatkan peluang kekosongan supply share terhadap dua variabel yakni : (1) peluang supply share yang diakibatkan oleh efek negatif pertumbuhan ekspor di negara negara pesaing; dan (2) peluang supply share atas pertumbuhan demand di negara negara tujuan. Dari 2 variabel di atas, dapat dihitung potensi tambahan nilai ekspor, masing-masing berasal dari efek negatif pertumbuhan ekspor negara pesaing yang diperkirakan mencapai 11,18 juta US dollar per tahun dan dari potensi penambahan demand diperkirakan senilai 5,34 juta US dollar per tahun. Dengan demikian total potensi tambahan nilai ekonomi ekspor optimum yang bisa ditangkap RI sebesar 16,52 juta US dollar per tahun. Tentu nilai ini dengan catatan trend pertumbuhan baik ekspor maupun impor bersifat konstan.
Namun demikian, penghitungan target ekspor berbasis pasar harus menjadi patokan utama dalam memetakan prediksi target jangka menengah. Disamping tentu faktor faktor pengungkit lainnya yang sensitif berpengaruh terhadap kinerja ekspor ikan hias.
PR Besar, Butuh Solusi Cerdas
Kata kunci untuk memenangkan persaingan di kancah perdagangan global adalah daya saing yang kuat. Menurut, Leamer dan Stern (1970) bahwa pertumbuhan ekspor suatu komoditas dipengaruhi oleh setidaknya 3 faktor pengungkit, yakni : (1) efek distribusi pasar; (2) efek komposisi komoditas; dan (3) efek daya saing kompetitif. Tiga faktor ini harus didorong agar berkinerja baik. Dengan melakukan dekomposisi pertumbuham ekspor menjadi 3 faktor/variabel ini dan melihat data kinerja ekspor tahun 2019, dapat disimpulkan bahwa untuk menggenjot kinerja ekspor, RI masih menemui sejumlah PR besar di depan mata.
Efek komposisi komoditas ikan hias RI bernilai merah, kondisi ini memberikan kontribusi penurunan ekspor ikan hias RI pada periode tahun 2018-2019 sekitar 988 ribu US dollar. Disamping itu, daya saing kompetitif ikan hias RI masih rendah. Artinya RI masih belum maksimal memanfaatkan atau bahkan belum mampu mempertahankan pangsa pasar yang tersedia. Kondisi ini memberikan kontribusi terhadap penurunan ekspor ikan hias RI senilai 2,9 juta US dollar.
Sementara itu, efek distribusi pasar bernilai positif. Artinya RI cukup efektif memanfaatkan fokus tujuan ekspor pada negara negara yang memiliki trend pertumbuhan demand positif, walaupun daya ungkitnya hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 2 juta US dollar.
Ketiga faktor di atas jadi PR besar yang harus diselesaikan selama sisa kepemimpinan Menteri Trenggono hingga tahun 2024. Setidaknya saya menyampaikan 4 (empat) rekomendasi untuk optimalisasi nilai ekspor ikan hias.
Pertama. Diversifikasi varian jenis potensial. Pengkayaan dengan mendorong diversifikasi varian jenis ikan hias harus terus dilakukan dengan fokus pada jenis yang memiliki keunggulan ekonomi tinggi. Peran riset, perekayasaan dan pengembangan harus didorong terutama dari aspek budidaya. Budidaya adalah kunci menyeimbangkan antara pemanfaata nilai ekonomi dan kelestarian biodiversity, apalagi untuk beberapa jenis ikan hias dibatasi oleh ketentuan/aturan Appendix CITES.
Kedua. Penguatan daya saing. Jaminan efisiensi produksi budidaya dan biaya logistik ekspor mutlak harus diciptakan. Disamping itu tentu pentingnya standardisasi dan sertifikasi sebagai syarat non tariff barrier yang wajib dipenuhi.
Ketiga. Fokus pada negara tujuan ekspor potensial. RI harus mempu mempertahankan bahkan menciptakan pangsa pasar baru yang potensial. Fokus ekspor pada negara negara tujuan ekspor yang mencatat trend pertumbuhan demand yang positif perlu terus digenjot.
Ke-empat. Menangkap peluang supply share. RI juga mesti mampu menangkap potensi kekosongan ekspor terutama dari negara negara pesaing yang mencatat trend pertumbuhan ekspor negatif.
Seringkali disampaikan bagaimana pentingnya memperkuat analisis pasar, yang merupakan bagian dari upaya penguatan market intelligence. Tanpa ini, maka target produksi/nilai produksi tidak akan memiliki pegangan kuat, bisa bisa terjerembab pada jurang yang kuat arusnya. Saya mengibaratkan market intelligence adalah akar yang jadi pegangan, sementara arus yang kuat adalah pasar global dengan dinamika persaingan yang kuat.
Merujuk pada hasil analisis di atas dan baseline data tahun 2019, maka sebenarnya batasan optimal target nilai ekspor ikan hias RI (target optimis) yang bisa digenjot hingga tahun 2024 mencapai 112,88 juta US dollar atau setara Rp. 1,58 trilyun rupiah dengan rata rata pertumbuhan tahunan (2020-2024) sebesar 24,81% per tahun. Terkait komposisi jenis komoditas, tentu perlu dipetakan lagi bagaimana daya saing tiap komoditas guna melihat proporsi nilai yang bisa memungkin digenjot. Jika RI mampu memanfaatkan peluang di atas maka mimpi menjadi produsen sekaligus eksportir nomor WAHID bisa tercapai dengan penguasaan supply share mencapai 30,41% dari prediksi potensi pangsa pasar di tahun 2024 senilai 371 US dollar.
RI juga perlu mewaspadai negara pesaing lainnya, terutama Thailand dan Brazil, meski nilai ekspor keduanya berada di bawah RI, namun mereka mencatat pertumbuhan ekspor yang baik ditandai dengan efek daya saing dan distribusi pasar yang positif, dimana mampu memberikan daya ungkit bagi penambahan kenaikan nilai ekspor yakni masing masing senilai 1,48 juta US dollar dan 6,27 juta US dollar selama periode 2018-2019. Jika RI tidak mampu mengoptimalkan peluang, maka dengan melihat tren pertumbuhan ekspor kedua negara ini, bukan tidak mungkin RI akan tersalip. Kenapa demikian ? Terlalu banyak pengalaman bagi kita yang seringkali lambat memanfaatkan momentum dan baru sadar saat negara lain jauh meninggalkan garis start.