Hampir setiap pergantian nahkoda baru, peningkatan produksi ikan selalu menjadi target Indikator Kinerja Utama. Kinerja produksi pula yang jadi tolak ukur tata kelola sektor perikanan dikatakan baik. Sebuah kesimpulan penilaian yang mesti dilihat secara komprehensif.
Seiring dengan target kuantitatif pencapaian produksi ikan, khususnya pada sub sektor akuakultur, Pemerintah dituntut untuk menghasilkan tren pertumbuhan produksi yang positif dari tahun ke tahun. Hal demikian, mestinya tidak mengesampingkan realita yang berkaitan demand market serta kekuatan input sumber daya yang dimiliki baik tangible asset maupun intangible asset. Kondisi ini terjadi hampir disemua sektor, khususnya yang berbasis pangan.
Terlepas dari itu, Pemerintah mesti melakukan pemetaan atau semacam life cycle assesment untuk mengurai berapa input sumber daya yang dimiliki, sehingga didapatkan output yang realistis. Need assesment harus dilakukan terukur dengan mempertimbangkan leverage factor dan limiting factor.
Kebercukupan induk dan benih unggul adalah bagian tangible asset yang menjadi tolak ukur atau baseline dalam menentukan prediksi target produksi akuakultur. Data base berkaitan dengan jumlah induk unggul, berapa kemampuan memproduksi benih, kapasitas sarana dan prasarana pendukung, jumlah kelembagaan/unit perbenihan dan kapasitas SDM adalah hal penting untuk dipetakan.
Pada beberapa kesempatan selalu dikatakan bahwa hingga saat ini konektivitas antara hasil hasil riset dan perekayasaan dengan jangkauan kebutuhan seluruh benih di sentral sentral produks masih belum berjalan optimal. Disisi lain, kita jangan sampai mengesampingkan sumber daya genetik asli Indonesia, padahal memiliki nilai ekonomi yang luar biasa besar.
Kita mungkin perlu belajar dari suku baduy yang konsisten dalam melindungi dan memanfaatkan sumber daya genetik asli. Tercatat ada sekitar 124 varietas asli padi yang masih lestari dan dimanfaatkan secara turun temurun.
Jika target produksi tidak diimbangi oleh kebercukupan induk dan benih berkualitas serta lemahnya perlindungan terhadap sumber genetik ikan asli Indonesia, maka bisa jadi celah justifikasi pihak pihak tertentu terutama korporasi untuk mendorong importasi. Padahal allien species punya potensi resiko yang mengancam biodiversitas SDI yang kita miliki.
Tadi saya katakan perlunya membangun sebuah sistem untuk memperbaiki tata kelola logistik benih ikan. Secara spatial, jika kita melihat sebaran alur supply & demand memang seolah seperti benang kusut. Inilah yang menyebabkan benih bermutu tidak mampu menjangkau seluruh sentral produksi, disamping itu memicu tingginya biaya logistik karena sentral produksi budidaya berada sangat jauh dengan sentral produksi benih.
Dari pertimbangan inilah saya rasa penting membangun sistem logistik dan informasi benih nasional. Setidaknya ada 3 (tiga) keuntungan membangun sistem ini yakni : (1) menjamin konektivitas efisien dalam mendapatkan akses induk/ benih murah dan berkualitas; (2) menekan biaya logistik karena alur tata niaga lebih efisien; dan (3) ada konektivitas hasil riset dan perekayasaan dengan pengguna.
Lalu bagaimana konsep ini diterapkan?
Ada 4 (empat) sub sistem yang perlu dibangun dalam konsep sistem logistik dan informasi benih nasional ini.
Pertama, penguatan dan pengembangan broodstock center berbasis komoditas unggulan disetiap wilayah yakni broodstock center kelas I yang berada di UPT pusat dan minimal ada satu broodstock center kelas II di setiap Provinsi. Brooodstock center kelas I diberi tanggungjawab untuk melakukan domestikasi dan pemuliaan untuk mendapatkan calon induk unggul. Kedua, penguatan peran UPTD Provinsi dalam hal ini Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) yang bisa berperan sebagai broodstock center kelas II dengan tugas utama menproduksi induk unggul untuk UPTD di level Kab/Kota. Ketiga, penguatan peran UPTD di level kab/kota. UPTD seperti Balai Benih Ikan (BBI) juga bisa berperan sebagai naupli/larvae center. Tugas utamanya yakni melakukan breeding program untuk mendapatkan larva/naupli maupun benih bermutu. Keempat, penguatan dan pengembangan unit perbenihan rakyat (UPR) di sentral sentral produksi. UPR dapat didorong untuk mekakun segmentasi dari larva/naupli sampai benih siap tebar. Perlu diketahui, bahwa instalasi milik swasta juga termasuk dalam mata rantai sub sistem ini.
Setidaknya 4 (empat) sub sistem diatas harus sudah dibangun antara lain melalui penguatan peran riset dan perekayasaan, pengembangan broodstock center, revitalisasi UPTD dan UPR, sertifikasi dan standardisasi sistem perbenihan, dan penguatan kapasitas SDM dan kelembagaannya.
Sistem logistik dan informasi benih nasional diharapkan akan meningkatkan traceability (ketelusuran), sehingga ada jaminan terhadap kualitas benih yang digunakan di sentral sentral produksi. Jika sistem logistik telah dibangun, maka langkah selanjutnya yakni mengembangkan sistem informasi logistiknya. Sistem ini akan memberikan informasi mengenai sebaran instalasi perbenihan, jenis dan jumlah ketersediaan induk dan benih, harga, catatan sumber genetik dan lainnya. Infornasi ini harus disajikan secara real time dan mampu diakses dengan mudah melalui aplikasi android.
Sejalan dengan target produksi yang terus diproyeksikan naik, maka ketersediaan benih bermutu mutlak harus dijamin. Oleh karenanya, gambaran sistem ini penting untuk dibangun.
Artikel merupakan opini pribadi