Masih bicara tentang lobster, si “berlian”. Kali ini saya ingin sedikit mengulas bagaimana pekerjaan rumah Pemerintah mendorong industri budidaya lobster nasional ini memang tidak mudah. Ada setumpuk tantangan besar yang harus dibenahi, tentu dengan komitmen tinggi, dan kerjasama yang solid.
Kalau kita bicara ekonomi lobster, saya ingin beri gambaran data International Trade Center (ITC) yang mencatat bahwa market share untuk lobster ukuran konsumsi (semua jenis) mencapai 206.310 ton dengan nilai mencapai 4,5 milyar USD. Ternyata China bukan satu satunya tujuan ekspor dengan market share tertinggi. Data ITC (2019) menyebut China berada diurutan ke dua setelah USA dengan memberikan share sebesar 20% terhadap total kebutuhan lobster dunia,USA sebesar 26%, disusul Kanada (14%), Perancis (7%) dan Itali (6%). Artinya, jika kita masih setengah hati berkompetensi dengan Vietnam yang menguasai market share China, sebenarnya kita bisa melakukan ekspansi pasar lain di luar China. Ada banyak pasar potensial yang bisa jadi tujuan ekspor baru.
Catatan data ITC (2019) juga menunjukkan bahwa tahun 2019 ekspor lobster konsumsi asal Indonesia mencapai 1.609 ton dengan nilai mencapai 29,57 juta dollar USD, sementara Vietnam sebanyak 1.440 ton dengan nilai mencapai 23,46 juta dollar USD. Namun catatanya perlu diketahui, bahwa Vietnam mengekspor lobster tersebut berasal dari industri budidaya, sementara Indonesia hampir seluruhnya mengandalkan hasil tangkapan alam. Ini saya kira yang perlu difahami bersama, bahwa kita mesti berkaca dari Vietnam, bagaimana merubah paradigma pengelolaan sumber daya lobster dari hanya sekedar “menangkap” ke arah “budidaya”
Daya Saing Komparatif Indonesia
Bicara potensi, baik lahan pengembangan maupun potensi sumber daya benih, Indonesia sebenarnya punya daya saing komparatif yang tinggi, jauh dibanding Vietnam. Bisa dibayangkan 80% benih untuk kepentingan budidaya di Vietnam berasal dari Indonesia. Kalau saja, kita konsisten menyetop ekspor benih, maka otomatis ambruk industri budidaya Vietnam. Sayang, kita terlalu berbaik hati. Belum lagi, aktivitas KJA disana telah melampaui daya dukung perairan yang ada, dan ini akan jadi bumerang jika tidak mampu dikendalikan. Belum lagi, ada testimoni bahwa Vietnam seringkali melakukan tindakan “ünfair” dalam perdagangan, terutama jika biara foodsafety. Saya kira semua ini titik lemah Vietnam sebagai kompetitor utama. Dalam prinsip ekonomi, sekuat apapun engineering efficiency dan preferensi konsumen, jika ditemukan tindakan “unfair”, maka akan terjadi distrust dalam perdagangan ekspor dan ini akan memicu inefisiensi ekonomi.
Bicara potensi, berdasarkan peta sentra dan masterplan budidaya laut Indonesia, setidaknya ada 15 kawasan berbasis WPPN-RI yang bisa dikembangkan untuk budidaya lobster. Ada sekitar 1.516 hektar potensi lahan efektif untuk budidaya lobster. Jika dalam 5 tahun ke depan, kita bisa manfaatkan rata-rata per tahun 40% dan kita mampu improve teknologi dengan menaikan SR hingga 70%, maka ada potensi produksi sebanyak 45.454 ton dengan nilai mencapai 15,90 trilyun rupiah di tahun 2024. Adapun pembudidaya yang terlibat sebanyak 107.657 orang, dengan serapan tenaga kerja langsung dalam proses budidaya mencapai 215.313 orang. Taruhlah tahun 2020 ini, kita mampu manfaatkan sekitar 13% saja dari potensi efektif tersebut, maka akan ada potensi produksi 5.848 ton dengan nilai mencapai 2,04 trilyun rupiah.
Mencapai target-target kuantitatif tersebut memang tidak mudah, terlebih saat ini, Indonesia tengah didera krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, pun halnya kondisi ini tentu akan mpengaruhi minat investasi. Bicara kebutuhan input produksi terutama benih dan prasarana KJA, maka untuk mencapai target hingga tahun 2024, setidaknya diperlukan benih lobster hingga 230 juta ekor per tahun, dengan kebutuhan KJA sebanyak 458.215 lubang KJA. Setidaknya tahap awal di tahun 2020, Pemerintah mesti mengalokasikan benih lobster hingga 65 juta ekor, dengan jumlah lubang KJA mencapai 132.830 lubang. Butuh anggaran yang tidak terbilang sedikit, yakni mencapai 981 milyar rupiah untuk tahun 2020, jika prasarana KJA disupport dari anggaran Pemerintah maupun Investasi.
Enam Belas Pekerjaan Rumah yang Harus Tuntas
Pemerintah menargetkan dalam jangka waktu maksimal 3 tahun, industri budidaya lobster telah berkembang, dengan semua input sumber daya yang telah improve termasuk teknologi budidaya. Namun demikian, saya ingin memberikan catatan, bahwa setidaknya ada 15 PR yang harus diselesaikan dalam jangka waktu hingga 5 tahun ke depan.
Pertama. Zonasi. Melakukan pemetaan zona pemanfaatan untuk budidaya dan zona tangkap berdasarkan pendugaan stok (stock assesment) dan di wilayah perairan yang menjadi hot spot dan terjadi fenomena sink population.
Kedua. Daya dukung. Melakukan pemetaan kesesuaian lahan berbasis daya dukung perairan (assimilative & supportive carryng capacity) di setiap zona pemanfaatan budidaya. Hasil penghitungan kapasitas KJA dijadikan syarat untuk menentukan batasan ijin unit KJA yang akan dikembangkan.
Ketiga. Stok Assesment. Melakukan stock assesment secara berkala disetiap zona tangkap benih untuk melihat status kerentanan stock dan acuan pengaturan kuota tangkap. Kuota tangkap sebaiknya bersifat dinamis sesuai hasil pendugaan stok.
Ke-empat. Input produksi. Menjamin kemudahan akses terhadap input produksi yang efisien terutama keterjangkauan harga benih bagi pembudidaya dan akses pakan.
Kelima. Sarana/Prasarana/Infrastruktur. Memberikan dukungan sarana dan prasarana KJA dan kebutuhan dasar untuk proses produksi bagi para pembudidaya pemula. Revitalisasi KJA yang telah ada untuk peruntukan budidaya lobster.
Ke-enam. Tata niaga pasar. Menjamin tata niaga lobster yang efisien dengan menghindari peran tengkulak, memperpendek rantai distribusi, dan stabilitas harga.
Ketujuh. Sistem bisnis dan kemitraan. Penguatan kemitraan yang kuat dan diakui secara legal formal antara investor dan atau perusahaan eksportir dengan kelompok pembudidaya lobster skala kecil dan Penerapan segmentasi usaha untuk memperpendek cashflow melalui sistem kemitraan yang kuat. Oleh karena itu, langkah awal adalah mengkaji rantai nilai pada setiap segmen usaha untuk melihat feasibility nya.
Kedelapan. Riset dan teknologi. Pengembangan riset dan perekayasaan yang meliputi perbenihan (breeding program, pakan buatan (non rucah, teknologi untuk menaikan SR/produktivitas, dan pengendalian hama penyakit) dan transfer informasi teknologi hasil hasil inovasi melalui Bimtek dan diseminasi.
Kesembilan. Pembiayaan dan investasi. Pembiayaan melalui kredit program dengan skema khusus bagi UMKM sektor strategis dan mendorong korporasi nasional baik KADIN dan APINDO atau pemilik modal untuk berinvestasi dalam bisnis budidaya lobster dengan memperkuat kemitraan dengan para pembudidaya.
Kesepuluh. Daya saing dan keberterimaan pasar. Penciptaan efisiensi produksi, mutu/kualitas produk hasil budidaya, dan sertiikasi proses produksi. Penerapan teknologi budidaya yang efisien berbasis budidaya untuk meningkatkan performance (SR dan mutu).
Kesebelas. Penguatan dan ekspansi pasar. Penguatan sertifikasi produk dengan branding foodsafety, ekspansi tujuan ekspor potensial di luar China. Sertifikasi produk dan penguatan branding terkait foodsaftey dan sustainability dengan private standard di negara buyer.
Kedua belas. Regulasi dan iklim usaha. Perlindungan kawasan melalui zonasi dan kemudahan investasi dan perijinan.
Ketiga Belas. Kelembagaan. Penguatan kelembagaan kelompok untuk manaikan posisi tawar dan penguatan kelembagaan penunjang seperti KUB dan lembaga lainnya untuk memfasilitasi kebutuhan pembudidaya lobster.
Ke-empat belas. Pendampingan dan penyuluhan. Pemberdayaan peran pendamping dengan merekrut tenaga pendamping teknologi yang memiliki spesifikasi teknis dan manajemen usaha dan penguatan penyuluhan dan tenaga penyuluh.
Kelima belas. Pengawasan. Penguatan dan pemberdayaan peran pengawasan swadaya maupun melalui kelembagaan masyarakat lokal/adat dan penguatan aturan lokal/adat di luar hukum positif dalam hal pengelolaan sumber daya lobster yang berbasis kearifan lokal.
Ke-enam belas. Pendataan dan data base. Penyediaan data base pelaku usaha (nelayan, pembudidaya, eksportir) dan penyediaan data dan informasi yang bisa diakses secara realtime.
Ketujuh belas. Pengawasan dan penindakan hukum. Ini hal yang sangat penting harus betul betul efektif dilakukan, yakni mencegah kebocoran eksportasi benih bening lobster di pintu keluar-masuk ekspor, termasuk akses jalan tikus. Pemberantasan mafia ekspor benih ilegal adalah kunci memajukan industri budidaya lobster nasional.