Menurut data FAO tahun 2013, 70-80% pelaku perikanan di dunia dikategorikan sebagai perikanan skala kecil. Sektor ini telah berkontribusi kepada pembangunan dan pendapatan daerah dari tingkat kabupaten sampai dengan nasional. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi mencatat proporsi nelayan kecil di Wakatobi pada tahun 2019 adalah 98%. Angka ini menunjukan jumlah nelayan kecil di Kabupaten Wakatobi mendominasi sektor perikanan tangkap yang tersebar di empat pulau besar yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Aktor utamanya adalah masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan kecil yaitu Masyarakat Suku Bajo dan penduduk yang ada di wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 1 Angka 33, 34 dan 35 menyatakan karakteristik masyarakat pesisir terdiri dari masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan MHA. Diantara ketiga karakteristik ini, MHA merupakan kelompok yang memiliki hak kolektif yang bisa diakui melalui penetapan Peraturan Bupati (Perbup) sesuai aturan Permen-KP No. 18 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. MHA didefinisikan sebagai sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wakatobi sebagai kabupaten kepulauan secara sejarah tergabung dalam Kesultanan Buton dengan adat dan warisan budaya yang kaya dan beranekaragam. Saat ini Pemerintah Kabupaten Wakatobi sudah mengidentifikasi adanya 9 (sembilan) masyarakat pesisir yang berpotensi untuk diakui oleh negara sebagai MHA, dimana (4) empat diantaranya sudah diakui dan sudah memiliki Perbub (Peraturan Bupati).
Eksistensi MHA di Wakatobi sudah dimulai dari pengakuan secara tertulis melalui Perbub Tahun 2017. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Wakatobi telah mengeluarkan produk hukum Perbup MHA yakni MHA Kadie Liya (Perbup Wakatobi No. 49 Tahun 2017) yang difasilitasi oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan bersama Pemda Wakatobi, MHA Barata Kahedupa (Perbup Wakatobi No. 44 Tahun 2018) dan MHA Kawati Tomia (Perbup Wakatobi No. 45 Tahun 2018) yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi bekerja sama dengan lembaga YKAN Indonesia, dan terakhir MHA Sarano Wali (Perbup Wakatobi No. 29 Tahun 2019) yang difasilitasi atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Wakatobi bersama WWF Indonesia. Program perencanaan penyusunan Perbub untuk 5 MHA yang belum ditetapkan sedang dipersiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan sesuai dengan arahan Surat Keputusan Bupati tentang Panitia Pembentukan MHA Kab. Wakatobi.
Tujuan utama dari pengakuan tertulis MHA ini adalah untuk memberikan hak kolektif kepada MHA dalam pemanfaatan dan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut berkelanjutan. Sebagai salah satu inisiatif pemberdayaan masyarakat pesisir, penguatan MHA ini dapat dijadikan sebagai upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan agar MHA mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari. Dalam eksekusinya, program-program ini melibatkan pemerintah daerah, provinsi, dan pusat sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Selain itu kerjasama dengan lembaga vertikal seperti Balai Taman Nasional Wakatobi, forum pulau yaitu Forkani, Foneb, Komunto dan Komenangi di Wakatobi dan organisasi mitra lainnya merupakan strategi penguatan MHA yang menjadi komitmen Pemerintah Kabupaten Wakatobi saat ini.
Melalui forum Penguatan Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Untuk Mendukung Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan di Kab. Wakatobi yang dilaksanakan pada 18 Januari 2021 di Hotel Wakatobi, telah dibahas bagaimana keberadaan MHA sebagai aktor konservasi, tantangan sosial dan rencana pengembangan MHA. Penguatan sumber daya manusia dan fasilitas pendukung perlindungan adat dan budaya serta kearifan lokal dari MHA merupakan aspirasi yang menjadi poin utama diskusi. Para petinggi (ketua adat) dan anggota MHA menyampaikan perlunya penguatan lembaga adat melalui program stimulan dan pelibatan mitra strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Selain itu pengawasan terhadap wilayah adat dan praktek destruktif yang dilakukan oleh non-MHA juga dianggap menjadi ancaman yang dapat mengundang konflik sosial. Output lainnya, pemerintah daerah Wakatobi melalui dinas terkait juga diharapkan dapat bersinergi dalam pengembangan dan pengawasan wilayah MHA. Organisasi pendamping seperti forum pulau dan organisasi yang bergerak pada isu konservasi juga menambahkan untuk menggunakan pendakatan inklusi (isu gender, sosial, ekonomi dan budaya serta lingkungan) yang terintegrasi dalam penyusunan rencana aksi pengembangan dan eksistensi MHA.
Praktek konservasi dan pembangunan wilayah pesisir dan laut berkelanjutan merupakan titik berat kontribusi MHA sebagai aktor sosial perikanan skala kecil. Kearifan lokal yang dimiliki oleh para MHA ini dianggap menjunjung nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini nilai kearifan lokal yang sejalan dengan praktek konservasi adalah salah satu variable wajib penetapan MHA dan kawasan kelolahnya, dan merupakan kebutuhan para pemangku kepentingan konservasi dalam pembuatan program. Sebagai contoh Kaombo (MHA Sara Sarano Wali), Wehai (MHA Kadie Liya) dan Sasi Gurita di Pulau Darawa (MHA Barata Kahedupa) merupakan tiga praktek kearifan lokal dalam perlindungan wilayah pesisir berbasis pengetahuan adat dengan sistem buka tutup kawasan untuk kebutuhan ekonomi, kepercayaan adat, dan perlindungan spesies tertentu.
Pendekatan penguatan MHA di Kabupaten Wakatobi ini terlihat menggunakan etnosentrisme, yaitu penilaian terhadap kebudayaan lain atas asar nilai dan standar budaya sendiri. Dalam konteks ini adalah inisiasi yang cendrung berbentuk instruksi dari atas ke bawah (top-down). Jika hal ini tidak dipertimbangkan akan menjadi tantangan yang dapat menjadi batu sandungan pengembangan MHA di Kabupaten Wakatobi. Solusi mengurangi isu etnosentrisme ini dapat diminimalisir dengan penguatan lembaga adat dan teknis fasilitasi yang efektif dan berkelanjutan. Definisi konservasi mainstrim yang menjadi patokan utama pengambil keputusan di Kabupaten wakatobi saat ini juga sebaiknya mempertimbangkan output berbasis solusi berkeadilan yang mencakup kebutuhan manusia bukan hanya berorientasi output kawasan perlindungan (wilayah dan spesies). Pendampingan forum adat yang intens, pengembangan masyarakat berbasis kebutuhan adat, penguatan regenerasi kelembagaan, pelibatan generasi muda, penggunaan teknologi dan sistem informasi, pelibatan masyarakat lintas adat (masyakat Bajo) dan pengembalian identitas adat menjadikan landasan dasar pembuatan program pengembangan MHA.
Refleksi lebih lanjut, hubungan manusia dengan pengelolaan pesisir dan laut memiliki kompleksitas yang tinggi dan tidak dapat disederhanakan berdasarkan kepentingan atau target capaian institusi tertentu. Relasi ini berkontribusi pada pemenuhan kesejahteraan non-material untuk kepentingan bersama masyarakat yang meliputi rasa kepemilikan bersama dan pemenuhan kebutuhan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan. Dengan adanya penetapan MHA ini, unsur dasar kesejahteraan seharusnya dapat difasilitasi penuh, namun jika salah eksekusi dalam pemberian program akan berdampak kepada perubahan pola pikir para MHA di masa yang akan datang atau bahkan kehilangan identitas adat. Roadmap yang jelas dan pendakatan antar disiplin ilmu harus merupakan pijakan dasar pada program pengembangan MHA di Wakatobi harapannya. Olehnya itu tantangan harus selalu bisa dihadapi dan dibalut dengan komitmen bersama pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mencapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan di Kab. Wakatobi.
(Wengky & Hardin; Wakatobi, Januari 2021)
Penulis :
Hardin, S.Kel., MPAMan
Direktur Advokasi dan Pendampingan
Pusat Kajian dan Pemberdayaan SD KP