World Water Council (WWC) nampaknya memilih RI sebagai tuan rumah ajang forum air dunia bukan tanpa alasan, RI merupakan negara kepualuan (archipelago state) dengan 2/3 merupakan wilayah perairan. Forum Air Dunia yang ke-10 berlangsung di Bali, 18 – 25 Mei 2024 dengan mengusung tema besar nan mulia yakni “Air untuk Kemakmuran Bersama (Water for Share Prosperity)”. Dalam rillisnya, WWC akan memfasilitasi platform, dimana komunitas air dan pengambil keputusan untuk berkolaborasi dan membuat kemajuan jangka panjang dalam mengatasi tantangan air global.
Air adalah sumber daya yang sangat penting dan krusial dalam menopang keberlanjutan kehidupan lebih dari 8 milyar manusia di bumi saat ini. Tanpa adanya focus pada pelestarian sumber daya air, maka mustahil akan terwujud kemajuan jangka panjang. Semua aspek kehidupan manusia ditopang oleh ketersedian sumber daya air, maka dalam konteks ini, air jauh lebih penting dibbanding oil energy dari sisi kemanfaatan.
Saya akan focus pada tema 10th World Water Forum ini, yakni Water for Share Prosperity. Dua kata kunci dari tema ini yakni Air dan Kesejahteraan. Idealnnya demikian, keberadaan air harus membawa kesejahteran yang berkeadilan. Akses terhadap air merupakan hak mendasar dari setiap manusia, ada equity of distribution, Maka dalam konteks ini, air adalah kebutuhan dasar, bukan ditempatkan sebagai barang produksi yang memicu kapitalisasi dan komersialisasi seperti yang saat ini terjadi. Setiap negara di dunia harus hadir dalam mengelola langsung dan menjamin akses distribusinya yang berkeadilan. Saya berharap, justru forum ini memunculkan poin yang membahas terkait kapitalisasi dan komersialisasi air sebagai penyebab minimnnya akses masyarakat bawah terhadap air yang aman (safety water). Sayangnya, ini sulit terjadi karena yang hadir adalah negara-negara maju dan mungkin mayoritas merupakan penganut mazhab kapitalism dan developmentalism, dimana investasi perusahaan raksasanya telah merambah pada penguasaan pengelolaan sumber daya air di berbagai negara berkembang. Contoh konkrit, perusahaan air minum multiinternasional “danone” telah menguasai komersialisasi air, dimana kita harus membeli dengan harga yang terkadang melebihi harga BBM.
Dalam konteks nasional, konstitusi kita jelas secara eksplisit di Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal ini jelas bahwa air adalah kebutuhan dasar dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, sehingga negara harus hadir. Pasal ini, saya kira tidak merekomendasikan praktek privatisasi terhadap sumber daya air.
Tantangan global yang sedang dan akan dihadapi ke depan, tentu sangat mengkhawatirkan jika seluruh negara bangsa di dunia tidak mulai focus pada 3 (tiga) isu penting terkait sumber daya air, yakni : (1) pelestarian; (2) pengelolaan yang sustain; (3) distribusi yang berkeadilan. Praktek praktek yang tidak ramah lingkungan menjadi penyebab terjadinya krisis sumber daya air, dan ini berjalan secara terus menerus. Perubahan iklim yang memicu pemanasan global turut berkontribusi sangat besar terhadap kelangkaan sumber daya air. Fenomena el nino yang menyebabkan kekeringan dalam jangka waktu lama telah menyebabkan krisis pangan, karena produktivitas sector berbasis pangan turun drastis. Perambahaan hutan, dan penggundulan di wilayah catchment area, dan dipicu pembangunan kegiatan ekonomi disepanjang DAS turut memicu terjadinya pendangkalan di perairan umum daratan (PAD). Contoh konkrit adalah pendangkalan ekstrim yang terjadi di Danau Limboto, Gorontalo. Data Kementerian PUPR setidaknya ada 15 danau kritis di Indonesia yang membutuhkan penanganan serius. Penanganan terhadap danau kritis ini tidak bisa dilakukan secara kuratif, tapi pendekatannya harus ecosystem based-approach, dengan memperbaiki ekosistem dari mulai hulu dan sepanjang DAS.
Belum lagi bicara Daerah Aliran Sungai (DAS). Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang kritis di Indonesia terus meningkat. Pada 1984 terdapat 22 DAS dalam kategori kritis dan bertambah menjadi 39 DAS kritis pada 1992, 62 DAS kritis pada 1998, dan 108 DAS kritis pada 2020. Peningkatan yang cukup mengkhawatirkan, apalagi ratusan juta rakyat Indonesia juga bergantung pada ketersediaan sumber daya air dari sungai. Deforestasi turut menjadi penyumbang krisis ini.
Dalam filosofi lingkungan, yang dimaksud terminologi sungai bukanlah sebuah aliran air dipermukaan yang mengalir dari hulu ke hilir (sumber : Wikipedia), tapi lebih dari itu. Saya mengutip dan menterjemahkan apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung dalam pengantar Etika Ekologi, bahwa pohon juga adalah sungai, karena fungsinya menangkap sumber air melalui akar dan mengalirkannya kembali. Aliran air yang berasal dari pohon adalah makna sungai yang sebenarnya. Oleh karena itu, deforestasi adalah prilaku ekstrim yang menjadi penyebab utama terancamnya ketersediaan sumber daya air. Membangun bendungan buatan untuk menampung air dengan membabat ekosistem hutan adalah sebuah “Paradoks Ekologi”.
PR Besar Indonesia
Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya air terbarukan paling besar di kawasan Asia Tenggara. FAO mencatat, sumber daya air terbarukan di Indonesia mencapai 2.018,7 kilometer kubik per tahun (km³/tahun) pada 2020 lalu. Meski Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar, namun Indonesia juga memiliki sejumlah tantangan dalam pemenuhan kebutuhan air. Tantangan tersebut meliputi musim kemarau yang berkepanjangan, tidak meratanya aksesibilitas serta distribusi air bersih dan infrastruktur untuk pengelolaan sumber daya air.
Kalau kembali menterjemahkan tema besar 10th World Water Forum, yakni Water for Share Prosperity, sesungguhnya ini menjadi tantangan bagi Indonesia. Ada PR besar Indonesia yang berhubungan dengan tema ini yakni : (1) pencemaran air; (2) akses terhadap sanitasi bersih; dan (3) askes terhadap air yang layak dan aman. Ketiga isu strategis ini sedang dihadapi Indonesia saa ini.
Berdasarkan data Environmental Performance Index (EPI) tahun 2022, menyimpulkan bahwa kinerja indeks kualitas lingkungan RI masih cuku rendah. RI berada pada rangking 164 dari 180 negara di dunia, dengan skor EPI hanya 28,20. Kinerja EPI ini turut ditentukan oleh kinerja pengelolaan sumber daya air dengan indikator ke-tiga isu strategis.
Indeks pengelolaan limbah air RI menempati rangking ke 141 dari 180 negara. Kurang dari 50% penduduk Indonesia belum terhubung ke sistem saluran pembuangan dan secara umum air limbah rumah tangga belum dilakukan pengelolaan.
Selain itu, berdasarkan rillis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan bahwa saat ini Indonesia sendiri memiliki indeks kualitas air yang masih rendah, karena badan air tercemar limbah domestik dan industri pertanian dan perternakan. Adapun pencemaran paling besar berdasarkan data BPS berasal dari limbah domestik. Data BPS di 2021 mencatat sebanyak 80,29% rumah tangga di Indonesia sudah punya septic tank, namun limbahnya justru terbuang ke lingkungan. Disisi lain jumlah pelanggan instalasi pengolah limbah terpadu (komunal) mencapai 138.519 sambugan rumah. Hal ini menyebabkan data tampung beban pencemar sungai terlewati. Dari kajian KLHK terdapat 10 DAS sudah melewati daya tampung beban pencemaran.
Pada tahun 2022, kualitas akses sanitasi dan air minum di Indonesia hanya mendapatkan skor sebesar 28,5 poin dan menempatkan Indonesia berada di urutan ke-125 dalam skala global dan ke urutan ke-9 di wilayah Asia Tenggara. Pengkajian tersebut disesuaikan dengan disabilitas standar usia per 100 ribu orang akibat minimnya akses ke fasilitas sanitasi yang memadai dan air minum aman. Sanitasi buruk mencerminkan tingkat kemiskinan yang cukup dalam, dan ini terutama menyasar wilayah perdesaan dan wilayah kumuh perkotaan. Sanitasi juga menjadi factor penting bagi jaminan kesehatan penduduk.
Sementara itu, bicara akses air yang layak dan aman, ternyata kondisi air bersih Indonesia masih belum memuaskan. Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2020, hanya 83% dari rumah tangga Indonesia yang memiliki akses ke air minum yang aman. Ini berarti masih ada sekitar 17% rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum bersih. Hal yang sama ditunjukkan data yang dirilis WaterAid tahun 2022. Indonesia berada di peringkat 140 dari 193 negara dalam Indeks Ketersediaan dan Kualitas Air Minum yang layak dan aman dengan skor 52,50.
Akses masyarakat ke air bersih dan layak masih merupakan tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Pada 2022, masih ada 35,3 juta orang di Indonesia yang tidak memiliki akses ke air bersih dan layak. Mayoritas orang yang tidak memiliki akses ke air bersih dan layak tinggal di daerah pedesaan. Sementara akses air minum aman baru dirasakan sekitar 11 persen. Untuk akses sanitasi, sekitar 80 persen penduduk telah mempunyai akses sanitasi layak, tetapi sanitasi aman baru dinikmati sekitar 7 persen penduduk Indonesia.
Ajang 10th World Water Forum, harus menjadi forum yang menghasilkan rekomendasi konkrit bagi jaminan ketersediaan air yang berkelanjutan melalui upaya-upaya mitigasi yang menjamin kelestarian sumber daya air. Perubahan iklim tidak bisa dilepaskan dari tema besar ajang forum dunia ini, karena dampaknnya telah sangat jelas bahwa saat ini krisis air telah mulai terjadi dan sangat mungkin akan diikuti oleh krisis pangan, akibat menurunnya produktivitas sector-sektor strategis berbasis pangan. Forum ini harus menjadi konsen bersama negara negara di belahan dunia, untuk mencapai tujuan bersama menjaga air dalam kerangka “one earth, one interest”.
Penulis adalah Perencana dan Setjen Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya KP