
Trade off antara Pembangunan versus Ekologi merupakan konflik klasik yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Rencana Aksi Pencapaian Agenda 21 sebagai kesepakatan global untuk menjamin konservsi SDA lingkungan, kualitas hidup, penurunan kemiskinan, dan peran partisipasi sosial pada kenyataannya belum siginifan menunjukan kinerja yang baik. Sejak disepakati pada ajang Earth Summit Tahun 1992 di Rio de Jenairo Brazil praktis telah 33 tahun berlalu. Namun, hingga saat ini dunia masih dihadapkan tantangan besar yang berujung pada krisis pangan, energi dan air sebagai akibat dampak perubahan iklim.
Dalam level nasional, meskipun agenda 21 telah diinternalisasi dalam kebijakan sektoral, namun pencapaian ini juga menunjukan kinerja kurang menggembirakan, terutama jika melihat fakta yang terjadi di lapangan, meski data menyebut ada perbaikan di beberapa indikator. Enviromental Performance Index (EPI) Indonesia misalnya, masih berada pada skor 33,6 artinya masih bernilai merah dalam skala 0 – 100 atau Indonesia masih berada diperingkat 163 dari 180 negara di dunia (sumber : Yale University). Tantangan yang dihadapi Indonesia cukup berat yakni terkait degradasi kualitas SDA & lingkungan, biodiversity, perubahan iklim, deforestasi, dan limbah. Kelima tantangan ini rasa rasanya belum menjadi concern nyata karena faktanya masih terjadi trade off dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa Indonesia masih menerapkan pertumbuhan ekonomi konvensional (brown growth) bukan pertumbuhan ekonomi hijau (green growth).
Pemanfaatan SDA ekstraktif secara eksploitatif, masih dilakukan di berbagai daerah tanpa input dan output control yang ketat. Berbagai isu lingkungan yang semakin menguat, seperti potensi dampak aktivitas pertambangan terhadap kelestarian SDA Kelautan dan Perikanan dan kualitas kesehatan masyarakat terus terjadi seperti misalnya di Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan) dan Maluku Utara (Halmahera Selatan). Ironisnya berbagai kasus lingkungan yang disinyalir melibatkan perusahan besar milik para oligark seolah tidak ada penyelesaian berkeadilan terutama bagi masyarakat terdampak. Princip polluter have to pay seolah tumpul pada kekuatan ekonomi besar.
Dalam konteks etika lingkungan hidup, alam masih dipandang sebagai objek eksploitasi tanpa mempertimbangkan bahwa alam juga memiliki hak azasi. Jika dikaitkan dengan pandangan ekofeminisme, alam diibaratkan sebagai perempuan yang tertindas oleh kaum patriarki. Perempuan masih dianggap sebagai objek eksploitasi pun demikian dengan alam. Menurut Françoise d’Eaubonn (1972) istilah ekofeminisme muncul sebagai sebuah gerakan menentang patriarki yang menindas. Ekofeminesme merupakan perpaduan gerakan antara penyelamatan ekspoliitasi terhadap lingkungan dan perempuan. Perempuan adalah objek yang pertama kali mendapatkan resiko dampak paling besar atas kerusakan lingkungan.
Di abad 21, dimana dunia menyepakati pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) semestinya peristiwa di atas tidak perlu terulang. SDGs pada intinya fokus pada upaya memberikan jaminan keadilan dan kesetaraan terhadap kelestarian lingkungan hidup dan hak-hak perempuan (gender) atas aktivitas pembangunan. Trade off seperti yang diulas di atas, mengindikasikan bahwa SDGs hanyalah sebatas agenda di atas kertas. Pencapaian SDGs memerlukan integritas tinggi terhadap semua elemen terutama pemangku kebijakan. Filantropi ekologi semestinya terus didodorong dengan dukungan politik yang kuat, tentu berlandaskan pada ecological integrity yakni upaya bertanggungjawab untuk menjamin keseimbangan ekosistem dalam setiap aktivitas kegiatan ekonomi.
Meski diakui regulasi dan aturan terkait lingkungan hidup di Indonesia telah cukup komprehensif, namun dengan berbagai fakta dinamika permasalahan lingkungan hidup terutama masih terjadinya perang kepentingan antara aspek lingkungan dan ekonomi menjadi indikasi belum efektifnya regulasi/aturan tersebut dalam tataran implementasi. Jika diperhatikan, mazhab developmentalism masih menjadi tumpuan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal dengan pendekatan brown growth, setiap digit pertumbuhan ekonomi dipastikan akan berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Tentu ada paradoks yakni upaya pencapaian SDGs dilakukan justru lebih condong pada pendekatan brown growth.
Paradoks semakin jelas terlihat terutama dalam 10 tahun terakhir Pemerintahan sebelumnya seiring ditetapkanya UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Sangat kentara sekali adanya dominasi keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi. Aturan aturan di bawahnya seperti penetapan PSN justru banyak kontra produktif dengan SDGs, sehingga tidak heran muncul konflik seperti di pulau Rempang dan Tangerang dengan proyek PIK 2.
Mendorong Pendekatan Green Growth
Ada satu pertannyaan mendasar, lalu bagaimana Indonesia menghadapi tantangan pelik yakni dinamika perekonomian global ditengan penurunan kualitas SDA dan lingkungan ?
Jalan satu satunya yakni mentransformasi secara konkrit pendekatan brown growth menjadi green growth untuk sustainability. Kegiatan ekonomi termasuk industri harus mulai mendorong clean production & clean technologi dalam proses produksi. Era disrupsi teknologi menuntut adanya peningkatan produktivitas dan efisiensi dala kegiatan ekonomi. Indikator ini dalam konteks lingkungan disebut dengan eko-efisiensi. Eko-efisiensi menjadi kata kunci untuk mengurangi input berlebih, meningkatkan nilai tambah ekonomi namun nir limbah. Konsep kegiatan ekonomi harus meniru filosofi interaksi komponen atau siklus alamiah dalam sebuah ekosistem yakni cara kerja daur ulang materi atau dalam konteks green growth dikenal dengan pendekatan circular economy. Artinya indikator kegiatan ekonomi dikatakan baik jika mampu membangun ekosistem bisnis yang integrative dan efisien secara berkelanjutan karena telah mempertahankan prinsip equality of dimension, terutama aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep circular economy yang telah menjadi best practice sudah semestinya direflikasi secara massif di semua sektor.
Inovasi teknologi yang cepat dan dinamis, sebenarnya menjadi kekuatan saat ini, bukan sekedar mengejar produktivitas dan pertumbuhan ekonomi semata, namun bagaimana mendorong efisiensi untuk menyeimbangkan keberlanjutan ekologi disatu sisi. Generasi usia produktif khususnya generasi Z harus mulai diberikan pemahaman sehingga memiliki integritas lingkungan sejak dini, ini penting agar inovasi yang mereka ciptakan di masa depan lebih mengarah pada upaya-upaya mendorong green growth. Tentu semua ini tidak terlepas dari peran sentral Pemerintah sebagai regulator sekaligus motor penggerak, sehingga alokasi pembiayaan, kebijakan fiskal dan non fiskal lebih berpihak pada upaya-upaya pemanfaatan sumber daya melalui pendekatan green growth. Perbankan dan/ atau lembaga pembiayaan lainnya harus memberikan insentif terhadap investasi atau industri yang telah menerapkan prinsip prinsip ekonomi hijau. Alangkah baiknya justru jika Indonesia membentuk green bank yang focus membiayai-proyek-proyek energi bersih dan ramah lingkungan. Satu hal lagi, keberadaan Danantara sebaiknya juga fokus dalam mendorong investasi ekonomi hijau dan ekonomi biru, bukan pada industri ekstraktif.
Momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang secara berkala diperingati setiap tanggal 5 Juni, sejatinya bukan hanya sebatas seremonial tanpa ada perubahan signifikan terhadap kualitas SDA dan lingkungan. Setiap dari kita akan adalah pemegang amanah sumber daya bagi keberlangsungan antar generasi, dan setiap dari kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan yang ada dimuka bumi.
Mengakhiri tulisan ini, kami mengutip salah satu ayat dalam Al. Qur’an Surat Ar-Rum (30:41) yang artinya : “ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Mari kita berinstropeksi diri dan membaca setiap tanda-tanda alam, jika kita masih menjadi manusia yang berakal budi.
Sumber Gambar : suarasultra.com
Wallahu’alam
Penulis adalah Sekjen Pusat Kajian dan Pemberdayaan SDKP