Jauh sebelum World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987 mengeluarkan laporan bertemakan Our Common Future, yang kemudian melahirkan istilah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Sesungguhnya, manusia telah diperingatkan Allah SWT melalui firman-Nya :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Surat Ar-Rum/30: 41).
Penulis sengaja mengawali ulasan ini dengan mengutif Firman Allah SWT dalam Surat Ar-Rum di atas, Tuhan sendiri telah memberi peringatan dengan jelas kepada manusia, bahwa semua bukti kejadian dan ancaman bencana global, semata-mata akibat tangan-tangan manusia. Begitu terang-terangan Tuhan memberikan kesimpulan, dan sebagai manusia yang memiliki akal budi, seharunya mampu membaca semuanya. Perubahan iklim global yang mengancam krisis sumber daya baik di darat maupun di laut akibat industrialisiasi yang mengeluarkan emisi karbon, pengerukan sumber daya yang tidak terukur bagi kepentingan pembangunan, adalah bagian bagian kecil ulah tangan-tangan manusia.
Laporan WCED mengkonfirmasi betapa manusia telah lalai dalam mengelolaa sumber daya alam dan lingkungan, sehingga baru diujung menyadari bahwa kerusakan benar-benar telah nampak jelas, dan menjadi ancaman nyata bagi manusia. Padahal, jika manusia mampu membaca dengan hati yang bersih dan berfikir dengan akal yang waras, terutama dalam memaknai penciptaan manusia sebagai kholifah di muka bumi, maka ia akan bijak dalam mengelola dan memanfaatkan SDA. Prinsip ini harus dimaknai dalam tata kelola SDA pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu negara. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi target utama dari mazhab developmentalism, disatu sisi telah menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup. Apalagi kita menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi disatu sisi hanya menguntungkan kaum pemodal. Disisi lain, justru ketimpangan ekonomi semakin dalam.
Bukankah wahyu pertama Surat Al-‘Alaq berisi tentang perintah Allah SWT untuk membaca ? Penafsiran tentang membaca, bukanlah mengenai perihal baca-tulis semata, namun lebih jauh manusia dituntut untuk menggunakan hati dalam membaca setiap tanda, termasuk tanda-tanda kerusakan di bumi yang kian nyata. Lalu, diminta untuk berfikir menggunakan akal, tentang makna dari setiap kejadian/fenomena kerusakan alam. Hati dan Akal adalah dua perangkat penting yang diberikan Tuhan untuk menununtun perilaku manusia dalam menjaga hubungan dengan alam semesta.
Lalu, bukankan setiap manusia diciptakan sebagai pemimpin di muka bumi, dan semua sumber daya alam yang ada bukankah untuk kelangsungan hidup manusia? dua pernyataan ini seringkali menjadi titik awal penyimpangan perilaku manusia atas pemanfaatan sumber daya alam, parahnya lagi pernyataan ini dijadikan legitimasi penguasaan sumber daya oleh manusia. Ini terjadi karena hati dan akal tidak lagi mampu membaca dan berfikir terhadap eksistensi manusia dan penciptaan Tuhan lainnya. Penyebabnya adalah nafsu yang menutup kedua perangkat tersebut.
Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai kholifah sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30 :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30).
Dari perpektif teologi lingkungan hidup, dalam konteks QS : Al—Baqarah ayat 30 di atas, secara struktural manusia diberikan mandat oleh Allah SWT untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kita semua harus memahami konteks Firman Allah SWT, ada perbedaan makna antara yang disebut pemimpin/penguasa dengan prinsip khilafiah (kholifah). Kholifah dalam konteks ini bukanlah menempatkan manusia dalam ruang dominan dalam bentuk penguasaan terhadap sumber daya alam yang ada, namun sebagai pemelihara dan pemberi rahmat bagi seluruh makhluk (Rahmatan Lil Alamin), sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kesimpulannya, prinsip kholifah dalam perspektif islam menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya
Berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT dalam konteks SDA dan lingkungan hidup, maka untuk memperoleh kelestarian umat manusia dan lingkungan hidupnya, maka manusia (sebagai sumber daya manusia, SDM) hendaknyalah diposisikan dan difungsikan secara maksimal dan optimal sebagai penerima amanat dari Sang Pencipta (sebagai Sumber Daya Hukum Lingkungan Hidup, SDH) untuk memelihara dan memakmurkan serta melestarikan lingkungan hidup (sebagai sumber daya alam, SDA), guna terwujudkannya kemaslahatan manusia secara universal di dunia dan keselamatan di akhirat (Tualeka, 2011). Jadi jelas, posisi manusia sebagai kholifah adalah sebagai penerima mandate dari Allah SWT untuk memakmurkan bumi, menjaga keseimbangan siklus didalamnnya, agar tercipta prinsip lestari dan keadilan antar generasi (intergenerational equity). Alam dan seisinya bukanlah hak mutlak yang diberikan Tuhan untuk manusia belaka, tapi merupakan titipan yang harus dijaga untuk menjamin keadilan distributif bagi semua mahkluk. Sumber daya alam bukanlah warisan nenek moyang, tetapi merupakan titipan dari anak cucu kita generasi yang akan datang.
Berdasarka uraian di atas, maka, hukum-hukum positif yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup, harus didasarkan pada kesadaran spiritual akan posisi Tuhan sebagai sebagai Sang Pencipta dan Pemberi Mandat, dan tugas dan fungsi manusia sebagai penerima mandat untuk membawa kemaslahatan bagi makhluk bumi. Hukum harus mengajarkan kebijaksanaan (wisdom) dan keadilan (distributif). Sebagai makhluk yang berakal budi, maka etika ekologi mesti dijunjung tinggi dalam kerangka hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan hubungan horisontal manusia dengan alam semesta.
Sebagaimana struktur lingkungan hidup dalam perpektif teologi yang diuraikan diatas, maka harus mempu diejawantahkan dalam tata kelola dan pemanfaatan sumber daya alam dalam konteks bernegara, dimana Pemerintah berfungsi sebagai penerima mandat kolektif dari rakyat, dimana rakyat berkedudukan sebagai pemberi mandat. Karena sebagai pemberi mandat, maka kedudukan pemerintah adalah wakil untuk mengatur, mengelola, mengawasi dan memanfaatkan secara terukur untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan. Keadilan harus bersifat distributif, termasuk jaminan kelestarian bagi semua makhluk, bukan sentralistik pada kepentingan pemodal besar (oligark). Jika yang terjadi sebaliknya, dimana hukum positif tidak lagi didasarkan pada aspek spriritualitas, sesungguhnya secara nyata telah menyimpang dari konsep Tauhid.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Dukhan ayat 38 – 39 :
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main; Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS : Al-Dukhan : 38-39).
Allah menciptakan segala sesuatu tidak sia-sia dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan di bumi mengandung makna arti keseimbangan. Surat ini juga memberikan gambaran bahwa Allah SWT menciptakan langit dan bumi serta unsur yang ada didalamnnya secara seimbang. Bumi adalah sebuah ekosistem besar dimana Allah SWT menciptakannya beserta siklus alamiah yang dbentuk oleh interaksi fungsional antara semua unsur yang ada didalamnnya. Manusia dalam hal ini merupakan bagian dari unsur penyusun sebuah ekosistem tersebut, dan dalam konteks ini memiliki peran yang sama dalam menjamin keseimbangan siklus kehidupan. Seberapa besar bentuk wujud fisik mahkluk, tetap Tuhan memberikan peran yang sama besar. Oleh karena itu, penyimpangan prilaku yang dilakukan manusia atas ekspolitasi sumber daya alam dan lingkungan, akan memberikan efek besar terhadap keseimbangan yang ada. Fenomena bencana alam yang dipicu oleh tangan tangan manusia telah secara nyata berdampak terhadap keseimbangan lingkungan.
Agama telah mengatur bagaimana manusia harus menjaga hubungan vertical dengan Tuhan Sang Pencipta, hubungan horizontal antar sesama manusia, dan alam semesta. Memelihara dan membangun lingkungan dipermukaan bumi adalah ajaran yang penting dalam Islam, dan melakukan kerusakan di bumi adalah dilarang. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid, yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa, semuanya adalah mahkluk Tuhan. Kesimpulannya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup dalam perpektif islam adalah bukti implementasi iman dari seorang muslim.
Jagat raya seisinya, adalah alam semesta ciptaan Allah, karena makhluk Allah maka manusia, langit, bumi dan yang lainnya, adalah bagian dari alam. Manusia dianugerahi akal, dengan akal itu manusia bisa berpikir, memilih yang benar dan yang salah, memilih yang baik dan buruk, dan dengan akal itu manusia bisa mengembangkan kehidupannya. Akal itulah yang merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya, di samping memiliki indra utama, pendengaran dan penglihatan (Quraish Shihab,1995).
Dalam etika lingkungan hidup, kita mengenal istilah “butterfly effect” (efek kupu-kupu). Menurut APA Dictionary of Psychology, butterfly effect atau efek kupu-kupu adalah suatu kecenderungan sistem yang kompleks dan dinamis agar lebih peka terhadap suatu kondisi awal yang mungkin berubah karena hal-hal kecil. Butterfly effect terjadi ketika sebuah tindakan atau hal kecil terjadi dan mempengaruhi sesuatu sehingga menimbulkan efek besar dan sulit diprediksi. Kepak sayap kupu-kupu terkesan ringan dan tidak memberi pengaruh pada situasi sekitarnya, tapi diyakini bahwa pada bagian dunia yang lain terjadi badai tornado karena kepak sayap kupu-kupu tersebut.
Butterfly effect mengkonfirmasi Firman Allah SWT dalam Surat Al-Dukhan : 38-39 di atas, bahwa penciptaan Tuhan tidak untuk hal yang sia-sia, sekecil apapun peran makhluk akan memberikan efek yang mungkin akan jauh lebih besar terhadap keseimbangan lingkungan hidup. Manusia sebagai bagian dari penyusun ekosistem besar bumi, harus mulai sadar bahwa disamping ada jaminan hak azasi bagi sesama manusia (hablum minannas), juga dalam konteks makhluk social yang lebih luas harus menjunjung tinggi hak azasi alam dan seisinya (hablum minal alam).
Dikutip dari Tualeka (2011) penulis mencoba menjabarkan tugas manusia dalam konteks sebagai kholifah dimuka bumi, yaitu :
Pertama, Al-Intifa’ yakni mengambil manfaat dan mendayagunakan sebaik-baiknya. Dalam proses pengambilan manfaat atas nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, manusia dituntuk untuk melakukan pengelolaan secara lestari dan terukur dengan mempertimbangkan prinsip keadilan distributive bagi semua makhluk. Proses pemanfaatan sumber daya alam tidak dilakukan secara eksploitatif, sehingga tetap terjaga keseimbangan siklus alamiahnya.
Kedua, Al-I’tibar yakni mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah. Surat Al-A’laq mewajibkan manusia untuk menggunakan akal fikiran dan hati untuk membaca dan mengambil pelajaran dari setiap tanda dan fenomena alam. Pemanfaatan dan pelestarian terhadap sumber daya alam dan lingkungan merupakan wujud rasa syukur manusia atas karunia-Nya.
Ketiga, Al-Islah yakni memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan maksud sang pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia, serta tetap terjaganya harmoni kehidupan alam ciptaan Allah.
Karena setiap Muslim harus meneruskan proses pembangunan usaha usaha pelestarian secara bersama-sama, dan kedudukannya yang merupakan tujuan kembar usaha-usaha nasional kita karena: pertama, lingkungan yang lestari pada gilirannya akan melestarikan proses pembangunan kita, melestarikan masyarakat yang menjadi ajang hidup anakanak dan cucu-cucu kita; kedua, martabat manusia dan kualitas hidupnya juga tergantung pada lingkungan yang menjadi tempat hidupnya. Sasaran kita bukan sekedar agar kita dapat terus hidup; tujuan kita adalah suatu kondisi kondusif dan berkesinambungan di mana semua orang dapat hidup dalam keselarasan dengan sesama manusia, dalam keselarasan dengan lingkungannya dan dalam keselarasan dengan Tuhan sebagai sumber segala kehidupan (Emil Salim, 1993)
Membaca tanda alam, adalah bagian penting dalam mengimani eksistensi Tuhan, bahwa alam semesta disediakan Tuhan agar manusia lebih bersyukur, bukan lebih serakah dan sombong. Dalam konteks nikmat Allah atas segala sesuatu di alam untuk manusia, memelihara kelestarian alam ini untuk manusia, memelihara kelestarian alam merupakan upaya untuk menjaga limpahan nikmat Allah secara berkesinambungan. Sebaliknya membuat kerusakan di muka bumi, akan mengakibatkan timbulnya bencana terhadap manusia.
Menjadi manusia bermanfaat bagai semesta sekecil apapun, jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan strata sosial setinggi apapun. Tetap berjalan dalam damai dan sepi bersama alam, ia takkan pernah berkhianat.
Penulis :
Cocon, S.Pi.,M.Si