Awal Desember 2020, Badan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memperbarui status 3 dari 6 spesies hiu berjalan (walking shark) langka dan endemik di wilayah timur Indonesia. Status Hemiscyllium halmahera atau hiu berjalan Halmahera berubah dari “belum ada data” (not evaluated) menjadi “hampir terancam” (near threatened).
Sementara, dua spesies hiu berjalan lainnya, yaitu Hemiscyllium henryi (hiu berjalan Teluk Triton Kaimana) dan Hemiscyllium galei (hiu berjalan Teluk Cenderawasih) menjadi “terancam” (vulnerable) pada 2020 dari sebelumnya “kurang data” (data deficient) pada 2012. IUCN sudah mendata status kerentanan satwa dan tumbuhan sejak 1964 yang dikenal sebagai IUCN Red List.
Meski masih ada beberapa tahapan sebelum status “kepunahan” terjadi, status “hampir terancam” dan “rentan” ini memberikan gambaran umum bahwa populasi spesies hiu berjalan di Indonesia tidak aman di habitat asli mereka.
Hal ini juga dipicu bahwa ukuran populasi hiu berjalan kecil dan cenderung sedikit di alam dan hanya tersebar pada daerah yang relatif terbatas.
Sebagai peneliti biologi laut, saya berargumen bahwa spesies hiu berjalan ini harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia. Ini alasannya.
1) Menjaga keseimbangan ekologi laut
Kelompok hiu berjalan merupakan hasil evolusi 400 juta tahun silam dari kelompok (clade) ikan bertulang belakang, Elasmobranchii. Sama halnya dengan hiu martil karena bentuk kepala yang unik seperti martil, maka nama “hiu berjalan” disematkan karena spesies ini bergerak dengan sirip di dasar laut seakan-akan sedang berjalan.
Namun, di Papua, khususnya Raja Ampat, masyarakat setempat menyebut hiu berjalan ini sebagai “kalabia”.
Di Indonesia, setidaknya tercatat 6 spesies hiu berjalan yang biasanya ditemukan terbatas di sekitar perairan Maluku (Kepulauan Aru), Maluku Utara (Halmahera), Papua (Teluk Cenderawasih Nabire dan Depapre) dan Papua Barat (kawasan Raja Ampat, Teluk Cenderawasih-Wondama, Manokwari, Fak-fak dan Kaimana).
Tiga hiu berjalan lainnya adalah Hemiscyllium freycineti atau hiu karpet berbintik Raja Ampat dengan status “hampir terancam”, Hemiscyllium trispeculare dengan status “risiko rendah” (least concern) dan Hemiscyllium strahani dengan status “rentan” (vulnerable).
Hiu berjalan berukuran relatif kecil, dengan panjang kurang dari 120 cm atau sekitar 2 langkah kaki orang dewasa.
Kalabia biasa ditemukan di perairan dangkal di daerah pesisir Indo-Pasifik. Ia aktif pada malam hari untuk mencari makan hingga daerah pasang surut dan menemukan pasangan.
Sebagai top predator, peran hiu adalah memangsa ikan-ikan kecil dan krustasea (seperti udang dan kepiting) lain, terutama yang lemah dan sakit, untuk mengatur dan menjaga keseimbangan ekosistem lautan.
Apabila predator utama ini berkurang bahkan hilang, maka ekosistem perairan akan terganggu karena tidak ada pemangsa yang membantu menstabilkan populasi.
2) Cegah perburuan hiu
Indonesia masih menjadi salah satu pemasok daging, sirip, dan tulang hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 3.800 ton daging per bulan pada 2017. Pemanenan hiu itu bisa terjadi karena perairan Indonesia didiami oleh setidaknya 116 jenis spesies hiu di dunia, dan beberapa jenis merupakan spesies yang rentan, seperti kalabia.
Sayangnya, untuk skala nasional, baru beberapa jenis hiu dan pari yang sepenuhnya dilindungi dan tidak boleh ditangkap sama sekali, seperti hiu paus (Rhincodon typus) karena status kurangnya data.
Lebih lanjut, hingga kini, belum ada instrumen dan penetapan insentif di Indonesia dalam mendorong penangkapan ikan secara berkelanjutan, termasuk hiu dan pari sehingga ancaman eksploitasi sangat tinggi. Dengan status terbaru kalabia dari IUCN, kini pemerintah Indonesia sudah memiliki landasan kuat agar spesies ini mendapatkan status perlindungan penuh dan sekaligus menghindari eksploitasi berlebihan. Pemerintah bisa menggunakan kajian yang sudah dilakukan oleh IUCN, sebagai otoritas penelitian global, saat menetapkan status kalabia untuk mulai rencana melindungi spesies ini. Selain perburuan, kalabia juga menghadapi tekanan tidak langsung mulai dari pembangunan kawasan pesisir hingga pemanasan global, mirip seperti satwa laut lainnya.
3) Ikon konservasi Raja Ampat
Kalabia telah menjadi salah satu ikon konservasi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat, karena telah disematkan menjadi nama kapal edukasi tentang sumber daya hayati laut. Kapal Kalabia ini sudah menjangkau puluhan kampung di Raja Ampat dan menyampaikan informasi serta edukasi tentang kekayaan dan perlindungan sumber daya hayati laut. Saya mengusulkan agar pemerintah bisa menggunakan status ikon ini untuk mengupayakan alternatif pemanfaatan ekonomi atas kalabia, tidak hanya sekadar hewan buruan. Sebagai contoh, pemerintah daerah atau pusat bisa mengadopsi konsep pariwisata berkelanjutan atau ekowisata sebagai jalan tengah antara konservasi dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Apabila dihitung secara ekonomi, pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengamatan satwa liar, atau wisata fotografi non-konsumtif, memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan konsumtif atau pemanenan satwa liar. Artinya, kita lebih baik menggunakan konsep ekowisata, dengan hanya mengamati satwa ini karena berperan sebagai penyedia jasa lingkungan. Perbandingan ini banyak digunakan untuk meyakinkan masyarakat dan para pembuat keputusan untuk menerapkan prinsip-prinsip konservasi.
Di samping itu, objek pariwisata sangat bergantung pada keasrian alam, ekosistem, dan biota unik sehingga kita (baik masyarakat dan pemerintah) akhirnya harus menjaga dan melindungi dengan baik agar terus memberikan manfaat.
Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat setempat bisa memanfaatkan nilai ekonomi dari aspek ekowisata ini untuk mendukung operasional konservasi, misalnya pengelolaan, penegakan hukum, dan penjagaan kawasan serta biota. Status baru ini bukan berita yang menggembirakan bagi dunia konservasi satwa di Indonesia.
Namun, ini bisa menjadi langkah penting bagi pemerintah untuk melindungi kalabia secara nasional.
Sumber : The Conversation
Penulis adalah Prof. Ricardo F. Tapilatu
Guru Besar Biologi Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua
Dewan Pakar Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya KP