
Pendahuluan
Dalam masyarakat demokratis modern, kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk represi langsung. Ia bisa tampil dalam rupa yang lebih halus: dalam bentuk narasi, algoritma, dan rasa aman yang diproduksi secara sistematis. Karl Popper, Noam Chomsky, dan Yuval Noah Harari, meski berasal dari zaman yang berbeda, sama-sama memperingatkan bahaya tersebut — yaitu hilangnya otonomi berpikir manusia dalam struktur kekuasaan yang tampak bebas namun sebenarnya tertutup.
Popper berbicara tentang “masyarakat tertutup” yang menolak kritik dan menyerahkan nasibnya pada otoritas. Chomsky menulis tentang “fabrikasi kesadaran” yang membuat publik merasa bebas, padahal diarahkan oleh media. Sementara Harari memperingatkan
lahirnya “diktator data” yang memprediksi dan mengatur manusia melalui algoritma. Esai ini mencoba membaca realitas politik Indonesia kontemporer — terutama menjelang dan pasca-era Prabowo — melalui tiga lensa tersebut. Fokusnya bukan pada tokoh, melainkan pada struktur kekuasaan dan pola pikir paternalistik yang memungkinkan oligarki data tumbuh di tengah demokrasi elektoral.
Analisis
Popper dan Paternalisme Politik
Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies (1945) menyebut bahwa masyarakat tertutup ditandai oleh keyakinan terhadap “pemimpin bijak” dan kebenaran absolut. Masyarakat seperti ini menolak kritik, dan lebih menyukai stabilitas ketimbang kebebasan berpikir.
Kondisi ini masih kuat di Indonesia. Budaya politik paternalistik menempatkan pemimpin
sebagai figur “bapak bangsa” yang tak boleh digugat. Alih-alih menjadi warga kritis, rakyat
cenderung menjadi pengikut yang menunggu arahan. Di ruang publik, ini tercermin dalam
rendahnya rational dissent dan mudahnya masyarakat terombang-ambing oleh wacana
simbolik.
Chomsky dan Fabrikasi Kesadaran
Noam Chomsky, bersama Edward Herman, menunjukkan dalam Manufacturing Consent
(1988) bahwa media dalam sistem kapitalisme tidak netral. Ia berfungsi untuk membangun konsensus yang menguntungkan elite, melalui pemilihan isu, bahasa, dan bingkai narasi.
Dalam konteks Indonesia, bentuk fabrikasi ini kini dijalankan oleh kombinasi media arus
utama, lembaga survei, dan buzzer networks. Isu politik menjadi produk algoritmik — yang paling sering muncul bukan karena paling penting, tetapi karena paling menguntungkan bagi kekuasaan.
Harari dan Diktator Data
Yuval Noah Harari memperluas analisis ini dengan memperkenalkan gagasan dataism. Menurutnya, kekuasaan baru di abad ke-21 tidak lagi bertumpu pada senjata atau ideologi, melainkan pada penguasaan data perilaku manusia. Siapa yang mengendalikan data, mengendalikan masa depan. Dalam konteks Indonesia pasca-Prabowo, kecenderungan ini kian nyata. Kampanye politik dijalankan dengan teknologi big data, preferensi publik dikalkulasi oleh analytics, dan sentimen rakyat dimanipulasi oleh algoritma media sosial yang digerakkan oleh kepentingan modal.
Implikasi: Menuju Rasionalitas Publik
Popper menolak segala bentuk determinisme sejarah. Masa depan, katanya, tidak bisa diprediksi, tetapi bisa diperbaiki melalui piecemeal social engineering — langkah-langkah
kecil berbasis akal dan keterbukaan terhadap kritik. Dari Popper, Chomsky, dan Harari, kita belajar bahwa tantangan utama Indonesia bukan pada siapa yang memimpin, tetapi pada struktur berpikir masyarakat yang pasif dan paternalistik. Keterbukaan informasi tanpa rasionalitas publik hanya akan melahirkan demokrasi yang rapuh. Rakyat mungkin merasa bebas berbicara, tetapi kehilangan kemampuan berpikir secara mandiri. Inilah bentuk baru masyarakat tertutup yang bekerja di bawah wajah algoritmik.
Penutup
Oligarki data adalah evolusi dari oligarki lama — bedanya, yang dulu mengendalikan sumber daya kini menguasai kesadaran. Kita hidup dalam sistem yang seolah terbuka, tetapi sebenarnya dikurasi oleh logika algoritma dan kepentingan modal. Jika ingin keluar dari lingkaran ini, Indonesia memerlukan tradisi berpikir kritis dan kesediaan untuk menguji ulang semua klaim kekuasaan. Masyarakat terbuka bukanlah masyarakat tanpa konflik, tetapi masyarakat yang menjadikan kritik sebagai sumber kemajuan. Popper mengingatkan: “Kita tidak memerlukan pemimpin besar untuk menyelamatkan masyarakat; yang kita butuhkan hanyalah lebih banyak masyarakat yang berani berpikir.”
Daftar Pustaka Ringkas
Chomsky, Noam & Edward Herman. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books, 1988.
Harari, Yuval Noah. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. London: Harvill Secker, 2016.
Harari, Yuval Noah. 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape, 2018.
Popper, Karl. The Open Society and Its Enemies. London: Routledge, 1945.
Popper, Karl. The Poverty of Historicism. London: Routledge, 1957.
Hadiz, Vedi R. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Stanford: Stanford. University Press, 2010.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1987.. Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs, 2019
Penulis :
Didik Sudiarso
Dewan Pembina Pusaran-KP