
Entah mau berkata apa lagi, rasanya habis sudah kalimat normatif yang pantas untuk kasus kasus lingkungan yang ada di negeri Ini. Negeri kaya SDA seakan hanyalah jadi bancakan kaum kapitalis. Sementara rakyat pemegang mandat konstitusional akan bumi, air dan kekayaan negeri ini justru hanyalah jadi objek terdampak. Air mata mereka sudah kering, melihat fakta bahwa ladang penghidupan yang ia gantungkan pada alam tergusur oleh kesombongan dan keserakahan lewat alat alat berat yang menggusur bukit bukit hijau nan Indah. Kemana penerima mandat itu? Sungguh menjengkelkan !
Baru baru ini kami dihebohkan dengan mencuatnya isu pengrusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Saya terhenyak, RAJA AMPAT ? saya bahkan tak percaya ternyata kalau selama ini Raja Ampat yang dilabeli sebagai kawasan konservasi dan taman laut nasional yang berada di pusat segitiga karang dunia, ternyata ada konsesi untuk ativitas pertambangan nikel. Meski menurut pengakuan aktivitas tambak dilakukan cukup jauh, tapi menurut saya alasan ini tak cukup dapat diterima.
Sungguh dilluar logika, terutama bagi saya dan temen temen pemerhati lingkungan hidup. Kok bisa bisanya ada regulasi yang mengijinkan aktivitas ini, bukan hanya mengusik pola ruang yang ada, tapi juga kita tahu Raja Ampat adalah gugusan pulau pulau kecil. Terus dimana nalarnya, ada akrivitas tambang yang membabat habis buki bukit indah, sementara dunia saat ini dihadapkan pada tantangan perubahan iklim yang mengancam pulau pulau kecil. Sebagai negara kepulauan Indonesia adalah negara yang paling terancam.
Sungguh ini paradoks, di satu sisi Kementerian KP tengah gencar mendorong perluasan protected area perairan, namun disisi lain ada sektor yang mengijinkan aktivitas pertambangan demi cuan. Bahkan dari empat perusahaan penambang nikel tersebut ada yang merupakan perusahaan PMA asal Tiongkak. Ironisnya, upaya klasik yang terus berulang yakni ada kejadian dulu dan viral baru dilakukan pengawasan dan penindakan. Jelas menunjukkan buruknya sistem perencanaan dan pengendalian. Hal lain, tidak ada harmonisasi regulasi pada sektor sektor terkait. Perijinan lingkungan hanyalah sebatas bukti adminsitratif untuk legalisasi aktivitas kegiatan, termasuk kegiatan yang sangat berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Apalagi, seringkali tanpa ada kontrol yang jelas. Ini tentu melanggar prinsip kehati-hatian.
Apa yang terjadi di Raja Ampat, jelas mencederai esensi Hari Lingkungan Hidup sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 5 Juni. Mungkin hanya cukup dimaknai, tanpa ada aksi nyata. Perlu diingat lagi, tanggal 9 Juni kita akan memperingati Hari Segi Tiga Karang Dunia (Coral Triangle Day) dan Indoinesia secara geografis berada di pusat Coral Triangle tersebut. Seharusnya kita bersyukur, bukan merusaknya dengan hasrat sesaat. Jika aktivitas tambang ini terus berlanjut, masihkan Indonesia dijuluki Mega Biodiversity?
Nampaknya Indonesia perlu terapi jangka panjang menggunakan anti virus ampuh untuk membunuh virus keserakahan yang sudah kronis.
Sumber Gambar : CNN Indonesia
Wallahu’alam.
Penulis adalah Pemerhati Lingkungan Hidup